jav hay
little young spinner wants to be taught.Click Here desiporntube
17
AUG
2023

Berlomba-lomba Kejar Kualifikasi: Fenomena Magang Bagi Mahasiswa

“Saya magang di sebuah startup yang bergerak di bidang kebugaran mental. Tapi kebugaran mental aku jadi kacau sesudah turut magang…”

“Saya magang di sebuah edutech. Saya terasa jobdesk di sini amat mengedepankan pembuatan program studi yang laku keras di pasaran. Implikasinya, pekerjaan aku tidak sesuai jobdesk yang disebutkan di poster…”

“Saya berminat mengikuti program Magang Kampus Merdeka sebab di awal dijanjikan dapat diberikan uang saku setiap bulannya. Maka berasal dari itu, aku memberitahu orang tua bet 10 ribu aku untuk tidak mengirim uang saku seperti kebanyakan sebab telah tersedia uang saku berasal dari (yang dijanjikan) Magang Kampus Merdeka. Tapi uang saku yang dijanjikan tidak kunjung diberikan kepada peserta magang selama kurang lebih 2 bulan…”

“… kuantitas peserta magang lebih banyak berasal dari pekerja full-time. Bingung banget ini wajar atau nggak ya? Bayangin aja kuantitas anak magangnya telah kayak manasik haji…”

Kutipan-kutipan diatas adalah pengakuan berasal dari beberapa mahasiswa yang menekuni magang di Indonesia, hasil penelitian yang ditunaikan oleh Project Multatuli terhadap 153 responden yang mengisi survei #GenerasiBurnout—yang mana sebanyak 33,3% atau 51 responden merupakan peserta program Magang Kampus Merdeka (Adinda, 2022). Pernyataan-pernyataan berikut seakan berada dalam satu “nafas”, yakni ‘bermasalah’. Ada beragam masalah yang menghampiri para mahasiswa yang menekuni program magang. Mulai berasal dari masalah berkaitan beban kerja yang amat tinggi, hingga permasalahan—yang menurut pandangan penulis pribadi—cukup vital, yakni tidak dibayarnya hak uang saku peserta pemagangan. Pernyataan-pernyataan berikut terhadap selanjutnya termasuk membawa penulis kepada beragam pertanyaan yang cobalah penulis jawab dalam artikel singkat ini. Apa yang sesungguhnya mahasiswa ekspektasikan berasal dari mengikuti sebuah program magang? Apa yang sesungguhnya sebabkan para mahasiswa terasa “harus” memiliki pengalaman kerja lewat program magang? Benarkah mahasiswa perlu “bekerja ekstra keras” demi “memperkaya” portofolionya? Selain itu, apa yang sesungguhnya sebabkan masalah magang bagi mahasiswa di Indonesia seolah tak kunjung usai berasal dari sementara ke waktu?

Pertanyaan pertama, yakni ‘apa yang sesungguhnya mahasiswa ekspektasikan berasal dari mengikuti sebuah program magang’ merupakan pertanyaan yang pastinya penting untuk diteliti demi paham apa yang sesungguhnya tersedia di benak para mahasiswa Indonesia yang seolah ‘berlomba-lomba’ mengikuti beragam program magang. Hasil penelitian berasal dari Project Multatuli lewat riset #GenarasiBurnout-nya pasti bisa dijadikan sedikit acuan untuk menjawab pertanyaan sulit ini. Ada beragam alasan berasal dari para mahasiswa yang mencoba untuk mengikuti program magang. Seperti terasa butuh untuk menaikkan pengalaman kerja, universitas yang mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti program magang, meminta mendapatkan penghasilan tambahan, dan untuk membangun jejaring profesional (Adinda, 2022). Alasan-alasan berikut membawa kami terhadap suatu fakta bahwa, mahasiswa telah memiliki kesadaran untuk mengembangkan kompetensi profesionalnya pasti bersama harapan agar bisa ‘bersaing dalam dunia kerja’.

Sedikit jawaban berasal dari penelitian ini bisa kami jadikan jembatan untuk pertanyaan selanjutnya. Yakni, apa yang sesungguhnya sebabkan mahasiswa terasa perlu memiliki pengalaman kerja lewat program magang? Menurut pendapat penulis, pasti ini berkaitan bersama narasi-narasi di area publik berkaitan pentingnya bagi seorang mahasiswa untuk memiliki pengalaman langsung dan nyata dalam sebuah lingkungan kerja. Narasi-narasi ini membawa kami kepada suatu fenomena yang terhadap selanjutnya umum dikenal bersama sebutan hustle culture. Dalam budaya hari ini, rencana hustle culture bisa disimpulkan sebagai suasana bekerja amat keras, yang mana beralih jadi style hidup (Arfa, 2021). Budaya ini terhadap selanjutnya bukan hanya menyasar kepada kalangan pekerja, tapi termasuk mahasiswa. Bagi mahasiswa, bibit budaya ini bisa terjadi sebab terdapatnya tuntutan industri atau pasar kerja yang mengharuskan para pencari kerja untuk memiliki kompetensi yang mumpuni dan daftar riwayat hidup yang mentereng (PERSPEKTIF, 2022).

Oleh sebab itu, tidak heran bahwa kami hingga kepada fenomena di mana mahasiswa ‘berlomba’ untuk jadi yang ‘terbaik dan tercepat’ bersama mengikuti beragam program magang semaksimal mungkin, bersama target menjadikan dirinya lebih unggul dibanding slot habanero mahasiswa lain. Fenomena hustle culture ini di sisi lain sesungguhnya memiliki suatu kelebihan, yakni terdapatnya dorongan yang kuat berasal dari para penduduk — terlebih generasi muda — untuk membentuk cii-ciri yang bisa beradaptasi mengikuti perkembangan zaman. Namun, apakah benar mahasiswa telah perlu sedemikian rupa mengejar hal-hal pragmatis tersebut?

Tren hustle culture yang terhadap selanjutnya membawa kami kepada fenomena banyaknya mahasiswa yang mengikuti beragam program magang ini dapatlah dikatakan merupakan hasil daripada neoliberalisasi yang terjadi terhadap th. 1980an. Schumpeter menjelaskan bahwa neoliberalisme merupakan sebuah teori yang menjelaskan tentang pembangunan ekonomi, di mana pembangunan merupakan inisiatif daripada tiap-tiap individu (Piano, 2020). Oleh sebab terdapatnya neoliberalisasi ini, maka perlahan-lahan dapat terjadi pergantian di lingkungan sosial masyarakat, yang mana salah satu berasal dari pergantian berikut adalah terdapatnya fenomena hustle culture. Hal ini pun termasuk semakin dekat kepada mahasiswa, disaat pendidikan seringkali hanya mengedepankan terhadap keahlian dan kebolehan yang sesuai standarisasi industri, agar tak heran banyaknya mahasiswa, bahkan pelajar, yang amat berlomba-lomba mengejar pencapaian yang selanjutnya berdampak terhadap budaya kerja hustle culture yang marak terjadi (Sabela, 2022).

Padahal, sebagaimana yang kami ketahui, mahasiswa memiliki beragam ‘peran mulia’ yang telah amat sering didengungkan. Mahasiswa berperan sebagai agent of change, social control, moral force, guardian of value, dan iron stock. Privilege yang dimiliki mahasiswa, yakni kemudahan akses terhadap ilmu pengetahuan, menuntut mahasiswa untuk bisa jadi agen penggerak pergantian sebab mahasiswa dianggap bisa melihat suasana sosial dan politik secara kritis. Mahasiswa termasuk dituntut untuk bisa memiliki peran sebagai pengontrol sosial, dan penjaga moral bangsa (Wahyuni, Aini, & Dewi, 2021). Namun, yang jadi pertanyaan penulis, bagaimana mahasiswa bisa melakukan beragam ‘tuntutan ideal’ berikut terkecuali di sisi lain terdapatnya hustle culture membawa kami kepada fenomena bahwa mahasiswa termasuk perlu memiliki kompetensi yang layak dan pas di dunia kerja—link plus match bersama dunia industri istilahnya. Demikian, lewat artikel singkat ini, penulis berpandangan bahwa fenomena banyaknya mahasiswa yang berlomba-lomba untuk mengikuti beragam program magang selama era perkuliahan merupakan hasil daripada ‘membumi’-nya budaya hustle culture di tengah-tengah penduduk kami saat ini ini. Budaya ini secara tidak langsung termasuk semakin diperkuat bersama terdapatnya program Magang Kampus Merdeka yang dicetuskan oleh Kemendikbud terhadap th. 2020 lalu. Di satu sisi, terdapatnya kecenderungan bagi mahasiswa slot bet 100 untuk ‘mengejar’ keperluan industri pasti dapat berdampak baik terhadap peningkatan potensi mahasiswa itu sendiri. Namun disisi lain, penulis rasa mahasiswa termasuk tidak boleh melewatkan ‘peran idealnya’, yakni jadi agent of change, moral force, social control, dan guardian of value bagi bangsa Indonesia.

Leave a Reply

*

Supportscreen tag
WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!
? Hi, how can I help?