Pertanian di Thailand mengalami transformasi yang signifikan selama tahun 1960-an dan 1970-an, didorong oleh akses ke lahan baru dan kumpulan besar tenaga kerja pengangguran. Antara tahun 1962 dan 1983, sektor pertanian https://www.mazfoodindustries.com/ tumbuh pada tingkat tahunan rata-rata 4,1%, dan pada tahun 1980, mempekerjakan lebih dari 70% tenaga kerja negara itu. Namun, negara Thailand memandang pertanian terutama sebagai alat untuk mendukung industrialisasi. Untuk tujuan ini, ekspor pertanian dikenakan pajak untuk menjaga harga pangan domestik tetap rendah dan menghasilkan pendapatan untuk investasi di sektor ekonomi lainnya.
Seiring kemajuan industrialisasi, pekerja secara bertahap bermigrasi dari pertanian ke kota untuk mencari pekerjaan. Pergeseran ini memaksa sektor pertanian untuk mengurangi ketergantungannya pada tenaga kerja manual dan mengadopsi metode yang lebih industri. Kebijakan pemerintah memainkan peran penting dalam transisi ini, dengan undang-undang yang mengharuskan bank untuk memberikan pinjaman berbunga rendah kepada petani dan kredit langsung yang ditawarkan melalui Bank Pertanian dan Koperasi Pertanian (BAAC). Selain itu, negara berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur pedesaan, termasuk pendidikan, sistem irigasi, dan jaringan jalan.
Antara tahun 1983 dan 2007, pertumbuhan pertanian melambat menjadi 2,2% per tahun. Meskipun tingkat pertumbuhan lebih lambat, investasi ini memungkinkan banyak petani untuk mendiversifikasi sumber pendapatan mereka, yang menyebabkan pertanian hanya menyumbang setengah dari pekerjaan pedesaan pada pertengahan 2000-an. Meskipun pangsa pertanian dari pendapatan nasional menurun dengan meningkatnya industrialisasi dan pengaruh Barat, itu tetap penting untuk pekerjaan pedesaan, ketahanan pangan, dan kesinambungan budaya.
Namun, meningkatnya pengaruh sistem ekonomi dan teknologi global telah mengubah pertanian menjadi industri makanan yang sangat dikomersialkan. Meskipun ini telah menguntungkan agribisnis, petani kecil semakin terpinggirkan, yang menyebabkan degradasi lingkungan dan penurunan nilai-nilai pedesaan tradisional—kecuali di daerah termiskin di mana pertanian subsisten tetap ada.
Sejak 1960-an, perkembangan pertanian ini telah berdampak besar pada pekerjaan dan standar hidup di Thailand. Pengangguran telah turun secara dramatis—dari lebih dari 60% menjadi di bawah 10% pada awal 2000-an. Ketahanan pangan juga meningkat secara signifikan: rumah tangga yang mengalami kelaparan turun dari 2,55 juta pada tahun 1988 menjadi hanya 418.000 pada tahun 2007, sementara kekurangan gizi anak menurun dari 17% pada tahun 1987 menjadi 7% pada tahun 2006.
Kemajuan ini adalah hasil dari pendekatan holistik yang menggabungkan investasi negara yang kuat dalam infrastruktur, pendidikan, dan akses kredit, di samping partisipasi sektor swasta yang sukses dalam agribisnis. Strategi ini membantu transisi Thailand ke ekonomi yang lebih industri.
Saat ini, pertanian Thailand kompetitif, beragam, dan sangat terspesialisasi. Sektor ini diakui secara internasional, terutama untuk beras, yang tetap menjadi tanaman terpenting di negara itu. Sekitar 60% dari 13 juta petani Thailand membudidayakan padi, menempati hampir setengah dari lahan pertanian negara itu. Pada tahun 2014, ekspor beras berkontribusi sekitar 1,3% terhadap PDB nasional.
Pertanian secara keseluruhan menyumbang sekitar 9–10,5% dari PDB Thailand, dengan sekitar 40% populasi terlibat dalam pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian. Pada tahun 2013, lahan pertanian bernilai sekitar US$2.945 per rai (atau $18.410 per hektar). Sebagian besar petani Thailand mengelola petak kecil, biasanya berukuran di bawah delapan hektar (50 rai).